SEBONGKAH SURGA


 “ Surga seakan-akan pernah bocor, mencipratkan kekayaan dan keindahannya. Dan, cipratan keindahan itu bernama Indonesia Raya.”
Emha Ainun Najib

Sepenggal kalimat yang dilontarkan Cak Nun di atas memang bermajas hiperbola, tapi ada kebenaran yang tak bisa ditampik dari dua baris kalimat yang dilontarkan budayawan asal Jombang-Jawa Timur tersebut. Kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah negri yang dianugrahi keindahan alam yang luar biasa tak perlu diperdebatkan. Tak perlu kiranya aku ceritakan lagi tentang eksotika pantai dan kehidupan bawah laut negeri ini, atau betapa melimpahnya aneka barang tambang yang terkandung di perut buminya. Hutan hujan tropis di negeri ini kabarnya juga merupakan yang terbaik di dunia, berikut dengan flora dan fauna yang beberapa diantaranya merupakan spesies endemik. Juga tentang keberagaman budaya dan suku bangsanya, aku yakin cerita macam ini sudah sangat sering kalian dengar, atau mungkin beberapa diantara kalian justru sudah pernah melihatnya secara langsung.
doc.google

Gambaran Kabupaten Tulungagung

Tulungagung adalah sebongkah kecil dari negeri (yang katanya) penggalan surga ini. Kabupaten Tulungagung memang bukan pulau Bali yang keindahanya telah mendunia. Tulungagung hanya kabupaten kecil yang terletak di pinggiran Samudra Hindia, di bagian paling selatan provinsi Jawa Timur. Namun kabupaten ini pantas berada di jajaran terdepan sebagai kawasan dengan sumber daya alam yang melimpah. Berdiri dengan kokoh gunung-gunung marmer, terhampar luas pantai-pantai dengan kandungan pasir besi, tanah yang subur, sumber air yang melimpah, serta sungai-sungai yang mengalir hampir di setiap desa. Tulungagung juga dikenal sebagai tempat ditemukanya manusia purba Homo Wajakensis dan berbagai situs purbakala lainya, yang artinya kabupaten Tulungagung memiliki seribu alasan untuk menjadi kabupaten yang mampu mensejahterakan warganya.
Bukan Indonesia kiranya kalau semua berjalan sebagaimana seharusnya, ungkapan “rumput tetangga selalu nampak lebih hijau” nampaknya berlaku dalam situasi ini. Sungguh tragis saat mengetahui masyarakat lokal Tulungagung justru lebih banyak mencari rejeki di negeri orang. Berdasarkan data BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia), ada sekitar delapan ribu warga Tulungagung yang mencari penghidupan dengan bekerja di luar negeri. Jumlah yang tidak sedikit, bukan? Bahkan kabarnya TKI asal Tulungagung merupakan yang terbanyak dibandingkan kabupaten lain di provinsi Jawa Timur. Data ini memang masih layak diperdebatkan. Dinsosnakertran Kabupaten Tulungagung misalnya, berdasar pada data yang dirilis secara resmi, mengklaim TKI asal Tulungagung hanya sejumlah 1.267. Namun jumlah ini merupakan jumlah TKI yang mendaftar secara resmi. TKI yang mendaftar di daerah lain atau melalui jalur ilegal belum masuk dalam data tersebut. Mungkinkah tahun-tahun berikutnya jumlah ini akan bertambah?

Jawabannya adalah ‘mungkin’, selama masyarakat lokal belum menyadari dan enggan untuk mengelola sendiri potensi kekayaan negara ini. Stereotype bahwa jadi pekerja di negeri orang itu “dompetnya lebih tebal” daripada di negara sendiri sudah mulai menjangkit pola pikir masyarakat. Ditambah dengan suksesnya media umum menghipnotis kita seolah-olah: Indonesia semakin bobrok, lebih baik pindah ke negeri orang. Gambaran ini setidaknya membuka pola pikir kalian bahwa seharusnya masyarakat lokal tak perlu berkecil hati di negerinya sendiri. Bahwasanya Indonesia merupakan negara yang besar dan kaya, hanya perlu kepedulian dari pemerintah dan warga lokal. Kekayaan sumber daya alam negara ini memang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara, dan warga lokal. Bukan tanggung jawab warga asing dalam mengelolanya, sementara warga lokal diiming-imingi uang melimpah di negeri orang. Dalam kasus ini, Tulungagung bisa dijadikan interpretasi Indonesia, mewakili keadaan nasional. Bagaimana mungkin negara yang sekaya ini, penduduknya miskin? Mungkin saja hal tersebut terjadi, jika level percaya diri masyarakat diturunkan; entah oleh tingkah polah pemerintah, maupun bias media. Warga lokal diajak berpikir menjadi inferior atas negerinya sendiri.

Wabah TKI

Keputusan untuk mengabdikan diri sebagai Pahlawan devisa tak selalu dilandasi oleh kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan. Industri rumahan yang selama ini menopang perekonomian Indonesia ada dalam jumlah yang sangat banyak disini. Setiap desa mencitrakan dirinya dengan satu industry khusus yang berbeda dengan daerah lainya. Ranah usahanya pun beragam, Mulai dari industry pengolahan batu marmer atau onyx, gerabah, alat-alat kebersihan, industri pengolah kain perca, dan sektor perekonomian lain.

Layaknya virus, TKI mewabah di daerah-daerah dengan penduduk yang gampang kepingin (konsumeris). Godaan dari tetangga yang pernah menjadi TKI, pulang kampung, kemudian membangun rumah mewah di desanya, atau memiliki gadget tercanggih di daerah tersebut, terkadang mampu mengusik ketenangan mencari penghidupan di tanah sendiri. Cerita demi cerita tentang mudahnya mengais rejeki di negara tetangga – daripada menjadi petani atau pengrajin – merupakan dorongan kuat untuk menjadi TKI. Keputusan menjadi TKI dewasa ini mayoritas termotivasi oleh sukses TKI-TKI sebelumnya. Bukan lagi dilatarbelakangi oleh kurang tersedianya lapangan pekerjaan di daerah asal.

Menjadi miris saat mengetahui banyak yang menjual sawah untuk menjadi TKI, kemudian lupa bahwa jengkal tanah yang dijual adalah untuk kesinambungan hidup anak cucu Indonesia. Banyak yang lupa bahwa menjadi nelayan, petani, guru, peternak, pengrajin, lebih dibutuhkan daripada pembangunan ruko secara sporadis dan membiarkan warganya hidup konsumtif. Namun sekali lagi, ini bukan mutlak salah masyarakat. Kebijakan pemerintah juga turut mempengaruhi. Tidak ada pembatasan pengiriman jumlah TKI, kurangnya perhatian pada sektor perekonomian rakyat, serta tidak adanya batasan barang impor dan jumlah pekerja asing di Indonesia tentunya mendorong warga lokal untuk go international menjadi TKI, hingga banyak yang melalui jalur ilegal.

Pergeseran Pola Pikir dan Gaya Hidup

   Pergeseran motivasi untuk menjadi TKI tentunya juga dipengaruhi oleh pola pikir dan gaya hidup. Sedangkan pola pikir dan gaya hidup individu tidak lepas dari pola pikir dan gaya hidup lingkungannya. Contoh sederhana dapat dilihat lagi dari kondisi Tulungagung. Hidup dari hasil memanfaatkan tanah Tulungagung yang subur atau menjadi bagian dari industri kreatif memang bisa menghidupi kebutuhan sehari hari. Tetapi melihat gaya hidup para TKI yang pulang kampung dengan gadget canggih dan rumah mewah lebih menggoda.

Di jaman media visual ini, media umum memegang peranan penting dalam konstruk sosial. Hal-hal yang ditayangkan dalam media cetak maupun elektronik membangun pribadi Indonesia sebagai pribadi konsumtif dan manja. Bahwa pekerjaan yang layak untuk ditekuni hanya PNS atau kaum berdasi di gedung ber-AC. Pola pikir ini secara otomatis turut mengubah gaya hidup seseorang, yang awalnya sederhana saja menjadi ingin memiliki semuanya. Seseorang yang awalnya suka bekerja keras kemudian diajak untuk menjadi pribadi yang instan, ingin semuanya segera selesai tanpa harus keluar keringat. Warga lokal yang awalnya bangga pada kekayaan alam daerahnya, menjadi minder dan memuja tanah orang. Hal seperti ini tak seharusnya terjadi jika masyarakat paham status, kondisi sosial, serta peran penting warga dalam membangun sebuah negara.

Bagaimana Seharusnya?

Jika berbicara tentang seharusnya, warga Indonesia seharusnya ditumbuhkan rasa bangganya terhadap negara sendiri. Tidak selayaknya media umum menayangkan tontonan-tontonan yang membuat warga menjadi kerdil, tidak bangga terhadap negara, ataupun buta kekayaan alam di negara sendiri hingga yang melihat potensi alam kita adalah warga asing.

Seyogyanya pers mahasiswa menyadari peran penting sebagai media alternatif, yakni menyuarakan keindahan, kekayaan, dan potensi alam Indonesia untuk kemudian dikelola dengan bijak untuk hajat hidup rakyat. Tidak hanya menyuguhkan beragam permasalahan di negri ini tanpa ada upaya mengawal. Salam persma…!!!



Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top