Penyalah Artian Semboyan Guyub Rukun



“Jika ada yang mengatakan bahwa Tulungagung bebas korupsi, itu adalah nonsense (omong kosong)’’

Jaringan mafia korupsi sangat sulit dibongkar untuk dihadirkan di permukaan publik karena banyak elemen yang bermain di dalamnya. Begitu sulit mencari data dan menginvestigasi para mafia korupsi. Permasalahan disini begitu komplek dan selalu ditutupi oleh semua pihak yang bersangkutan. Bahkan Pengadilan Negeri Tulungagung, Kejaksaan Negeri Tulungagung dan Kapolres Tulungagung tidak banyak membantu dalam menguak fenomena korupsi di Tulungagung. Surat  permohonan data dan wawancara yang di ajukan secara resmi dari Lembaga Pers Mahasiswa Dimensi ke intansi tersebut tidak ditanggapi dan tidak tercermin keinginan membicarakan kebenaran yang sesungguhnya. Sering kali berusaha konfirmasi ulang ke kantor, namun pihak narasumber selalu berapologi enggan memberikan data dan menjadi narasumber wawancara.
Dugaan pertama, keengganan pejabat mengungkapkan korupsi bisa jadi karena memang tidak ada korupsi di Tulungagung. Fadiq Muhammad (Panwaslu Tulungagung 2013) menegaskan bahwa “Jika ada yang menyatakan bahwa di Tulungagung tidak ada korupsi (bebas korupsi) itu adalah perkataan nonsense (omong kosong)” saat kru berdialog tentang hukum di kediamannya.  Pak yok (panggilan akrab fadiq) menegaskan, “bahkan sekalipun itu pernyataan resmi dari Indonesia Coruption Watch (ICW)’’. Sangat beralasan Pak yok berkata demikian, sebab masyarakat awam menganggap Tulungagung jarang dan bahkan tidak pernah ada korupsi. 
Doc. Google

Adakah yang masih menganggap Tulungagung bebas korupsi? Beberapa fakta yang bermunculan telah menujukkan bahwa Tulungagung bukan kabupaten bebas korupsi.. Pada 25 Juli 2011 terungkap, Kejaksaan Negeri Tulungagung menahan dua tersangka korupsi Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Provinsi Jawa Timur 2008, yang tidak bisa mempertanggung jawabkan dana sebesar 60 juta. Ada fakta unik lagi terjadi pada 22 April 2013 di mana Supriono, tersangka kasus PSSI Tulungagung sebesar 532 juta malah dilantik jadi ketua DPRD. Status Supriono yang menjadi tersangka korupsi tidak menghalangi pelantikan yang dihadiri juga oleh Bupati Tulungagung Heru Tjahyono beserta jajarannya. Padahal Kejaksaan Negeri Tulungagung juga membenarkan dugaan kasus korupsi Supriyono sewaktu menjabat sebagai Pengcab PSSI. Namun hanya karena alasan kooperatif Supriyono tidak ditahan.
Dugaan kedua, enggan menyampaikan data kepada pers dikarenakan semua unsur yang terlibat kasus korupsi tersebut sepakat secara bejamaah untuk menutup kasus. Berikut jawaban dari para pegawai pemerintahan ketika kru berupaya minta sebagai narasumber. Sebagaimana diungkapkan Irianto P. Utama, Humas pengadilan Negeri Tulungagung, “data-data tentang kasus korupsi tidak bisa kami beriakan karena itu adalah wewenang pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor)”. Ramlan, Ketua Pengadilan Negeri Tulungagung juga menolak surat resmi pengajuan wawancara dengan dalih serupa. Upaya kru selanjutnya adalah menggali data di Kejaksaan Negeri Tulungagung, namun pihak Humas kejaksaan juga tidak cukup memiliki kejujuran untuk memberikan data yang riil tentang kasus-kasus yang ada di Tulungagung dengan dalih pengarsipan di sana masih belum tertata. 
Di balik fakta korupsi di Tulungagung yang ditutup-tutupi oleh para pejabat, adakah keterkaitan dengan semboyan “Guyub Rukun” ? Dalam kamus bahasa sanskerta (baca; kamus sanskerta Indonesia DR. Purwadi, M. HUM Published. Budaya jawa.com 2005)  bermakna bersatu. Budayawan Tulungagung Haris menjelaskan “guyub rukun itu mengandung arti atau makna persatuan,” ungkapnya. Beliau juga menambahkan “guyub rukun itu sebuah falsafah jawa yang keberadaannya bisa ditarik kemana saja bisa positif bisa juga negatif”. Beliau mencontohkan kesuksesan antar mafia untuk menutupi korupsi juga berawal dari penyalah artian kata guyub rukun.
Berbicara mengenai guyub rukun, perlu melihat sejarah mencuatnya slogan ini. Slogan ini hadir ke tengah publik Tulungagung di masa Bupati Heru Tjahjono (1994-2013). Slogan tersebut telah berhasil menggeser dan menenggelamkan jargon sebelumnya, yakni Ingandaya (Industri pangan dan budaya) sebutan popular untuk Tulungagung di masanya. Slogan ingandaya muncul di era Bupati Purwanto sekitar tahun 1984 ditandai dengan munculnya sekolah-sekolah kejuruan sebagai pencetak tenaga industri dan pengelola bahan pangan dan dibangunnya beberapa situs-situs kebudayaan di Tulungagung.
Berbeda dengan ingandaya yang memiliki cakupan target yang jelas ekonomi, pangan dan budaya. Guyub rukun lebih bersifat abstrak dan lebih banyak menyimpan makna tersirat. Guyub rukun dalam tataran teks bermakna positif. Hal tersebut diungkapkan Wawan Susetya, Budayawan Tulungagung “guyub rukun itu memiliki makna positif kaya falsafah jawa yang lain misalnya andap asor, tepo sliro dan sebagainya. Namun pada tataran konteksnya, guyub rukun mampu menyetuh segala aspek kehidupan sosial, politik, hukum, agama dan lain-lain” Ungkapnya saat ditemui kru di kediamannya.
Slogan yang didengungkan di era Bupati Heru Tjahjono ini disinyalir bermuatan legitimasi terhadap budaya bersuara, berpendapat sehingga dimaksudkan guna meredam setiap gejolak yang timbul dari masalah maupun gesekan yang ada. Haris menambahkan tangapannya, “guyub rukun bisa jadi sebagai alat untuk membungkam suara-suara vokal, dengan cara memberi fasilitas kepada orang atau lembaga yang punya kebiasaan melontarkan kritik”. Sehingga orang atau lembaga ini cenderng menutup mata atas relita yang ada. Guyub rukun dilontarkan ke permukaan selain digunakan untuk meredam aksi dan gejolak, juga sebagai representasi dari Bupati Heru Tjahjono yang anti terhadap adanya masalah sehingga dimaksudkan agar proyek dan pembangunan di Tulungagung tidak menuai kritik dari masyarakat.
Guyub rukun atau dalam praktisnya bisa disebut mlaku bareng (baca; berjalan bersama) adalah sebuah model atau wacana yang dilontarkan sebagai bentuk upaya mensinergikan lembaga-lembaga birokrasi di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Tulungagung, sehingga tercipta suasana rukun, harmonis dan tidak timbul rasa saling curiga. Hadirnya suara-suara vokal seperti wartawan, pengamat dan aktivis cukup menggangu sistem ini, sehingga tak jarang para kepala bidang ditugasi untuk memelihara atau menciptakan suasana tentram dalam balutan guyub rukun, Haris mengatakan “untuk menciptakan suasana guyub tersebut para kepala ditugasi untuk ngopeni para wartawan”.
Setelah fakta yang terpaparkan diatas apakah kita masih merasa tentram di tengah kaburnya fakta di lapangan. Budayawan-budayawan di Tulungagung menegaskan bahwa Slogan  Guyub Rukun masih multi tafsir. Apakah arti sesungguhnya dari guyub rukun masih belum ada yang tahu kepastiannya. Jika memang bisa dilakukan tarik ulur terhadap semboyan guyub rukun kearah positif maupun negatif, mungkinkah fenomena korupsi yang ada di Tulungagung juga ada hubungannya dengan semboyan Guyub Rukun tersebut. Renungkan dan Fikirkan.


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top